TUGAS KEPERWATAN
PROFESIONAL
NAMA KELOMPOK :
AYU ASTUTI
HERMAN SETIAWAN
FERDIAN S.
SUFI GAZELA A’I
TERESIA WIDIA A.
TRI NOVITA SARI
PUTRI ARIYANI
MUHAMMAD SAID
Sekolah tinggi ilmu
kesehatan muhammadiyah samarinda
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kasus Panca Satria Hasan Kusuma – Indonesia
Sebuah permohonan untuk melakukan
euthanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami
bernama Panca Satria Hasan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang
bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 3 bulan pasca operasi
Caesar dan disamping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan
merupakan suatu alasan pula. Permohonan untuk melakukan euthanasia ini diajukan
ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh
bentuk euthanasia yang diluar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak
oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif
maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam
pemulihan kesehatannya.
B. TUJUAN
1.
Mencari Studi Kasus Tentang Euthanasia
serta pembahasannya
2.
Euthanasia diperbolehkan atau tidak di
Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN EUTHANASIA
Euthanasia berasal dari kata Yunani eu yang
berarti baik dan thanatos
yang berarti mati. Maksudnya adalah
mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit. Dalam
bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu
ar-rahma atau taysir al-maut.
Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau
penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal menjadi ringan atau mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan
dan penderitaan hebat menjelang kematiabnya.
Menurut
Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa penderitaan” (mercy
killing). Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap penderita penyakit
yang secara medis sudah tidak mungkin lagi untuk bisa sembuh. Euthanasia bisa muncul
dari keinginan pasien sendiri, permintaan dari keluarga dengan persetujuan
pasien (bila pasien masih sadar), atau tanpa persetujuan pasien (bila pasien
sudah tidak sadar).
B. MACAM-MACAM EUTHANASIA
1. Dilihat dari
kondisi pasien, tindakan euthanasia dapat dikategorikan menjadi dua macam yaitu
aktif dan pasif :
a.
Euthanasia Aktif adalah suatu tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan
memberikan suntikan maupun melepaskan alat-alat pembantu medika, seperti :
melepaskan saluran zat asam, melepas alat pemacu jantung dan lain-lain. Hal-hal
yang termasuk
tindakan mempercepat proses kematian disini adalah : jika kondisi pasien berdasarkan ukuran dan
pengalaman medis masih menunjukkan adanya harapan hidup. Tanda-tanda kehidupan
masih terdapat pada penderita ketika tindakan itu dilakukan.
b.
Euthanasia Pasif adalah suatu tindakan yang membiarkan pasien/penderita dalam
keadaan tidak sadar (comma), karena berdasarkan pengamalan maupun ukuran medis
sudah tidak ada harapan hidup, atau tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi
padanya. Hal ini mungkin dikarenakan salah satu organ
pentingnya telah rusak atau lemah, seperti : bocornya pembuluh darah
yang menghubungkan ke otak (stroke) akibat tekanan darah terlalu tinggi, tidak
berfungsinya jantung.
2.
Dilihat dari orang yang membuat
keputusan, euthanasia dibagi menjadi:
a.
Voluntary euthanasia yaitu jika yang membuat
keputusan adalah orang yang sakit
b.
Involuntary euthanasia yaitu jika yang membuat
keputusan adalah orang lain, seperti pihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami
koma medis.
3.
Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia
dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
a. Euthanasia di
luar kemauan pasien
Euthanasia
tersebut adalah suatu tindakan euthanasia yang bertentangan dengan keinginan si
pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan
pembunuhan.
b. Euthanasia
secara tidak sukarela
Euthanasia
semacam ini seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu
tindakan yang keliru oleh siapapun juga. Hal ini terjadi apabila seseorang yang
yang mengambil keputusan tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil
suatu keputusan, misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien
(seperti pada kasus Terri
Schiavo). Kasus ini menjadi sangat
kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil
keputusan bagi si pasien.
c. Eutanasia secara
sukarela.
Euthanasia ini dilakukan
atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial.
4. Bila ditinjau
dari cara pelaksanaannya, euthanasia dapat dibagi menjadi:
a. Euthanasia
agresif disebut juga euthanasia aktif adalah suatu tindakan
secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat
atau mengakhiri hidup seorang pasien. Euthanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian
suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu
contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.
b. Euthanasia non
agresif, kadang juga disebut euhtanasia otomatis (autoeuthanasia)
digolongkan sebagai euthanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar
untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan
memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi
dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan).
Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas
permintaan pasien yang bersangkutan (www.scribd.com/doc/55407111/EUTANASIA)
C. KRITERIA MATI
Apabila nadi tidak bergerak, maka jantung sudah tidak
berfungsi karena jantung merupakan alat pemompa darah ke seluruh tubuh. Jantung
digerakkan oleh pusat saraf penggerak yang terletak pada bagian batang otak
kepala. Apabila terjadi perdarahan pada batang otak, maka denyut jantung
terganggu. Tetapi perdarahan pada otak yang bersangkutan tidak mati,
kata Prof. Dr. Mahar Mardjono (eks Rektor UI). Jadi, kalau hanya terjadi
perdarahan pada otak, penderita tidak mati. Jika batang
otak betul-betul mati, maka harapan hidup seseorang telah terputus.
Menurut Dr. Yusuf Misbach (ahli
saraf) terdapat 2 macam kematian otak yaitu kematian korteks otak yang
merupakan pusat kegiatan intelektual dan kematian batang otak. Kerusakan batang
otak lebih fatal karena terdapat pusat saraf penggerak motor semua saraf tubuh.
Menurut Dr. Kartono Muhammad (wakil ketua Ikatan Dokter Indonesia) mengatakan
seseorang mati bila batang otak menggerakkan jantung dan paru-paru tidak berfungsi lagi.
Para fuqaha menurut Dr. Peunoh Daly menentukan ukuran hidup matinya
seseorang dengan empat fenomena yaitu :
-
Adanya gerak/nafas, gerakan
sedikit/banyak.
-
Adanya suara maupun bunyi yang terdapat
pada mulut, jeritan tangis, dan rasa haus.
-
Mempunyai kemampuan berfikir terutama
bagi orang dewasa.
-
Mempunyai kemampuan merasakan lewat
panca indra dan hati.
Kriteria yang dikemukakan fuqaha berupa kriteria
pertama dan kedua masih belum menjamin, karena terkadang
manusia tidak bernafas dan tidak bersuara pada saat comma. Sedangkan
kriteria ketiga yaitu kemampuan berfikir, hanya salah satu vitalitas otak, kerusakan
organ tidak fatal masih bisa dioperasi. Kriteria keempat, sulit dideteksi
dengan menggunakan alat canggih. Keempat kriteria tersebut dapat diterapkan di
tempat yang tidak terdapat alat ukur seperti disebutkan Prof.
Mahar.
D. FAKTOR-FAKTOR
PENYEBAB EUTHANASIA
1.
Faktor kemanusiaan
Faktor ini dilakukan oleh seorang dokter
baik atas permintaan pasien atau keluarganya atau kehendak dokter itu sendiri. Hal ini dilakukan oleh seorang
dokter karena merasa kasihan terhadap penderitaan pasiennya yang berkepanjangan, yang secara medis sulit untuk
disembuhkan. Dengan
demikian seorang dokter mengabulkan permintaan pasiennya.
2. Faktor Ekonomi
Faktor yang kedua ini
diakui oleh wakil ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
Dr.Kartono Muhammad bahwa mengenai Euthanasia pasif banyak dilakukan atas
permintaan keluarga penderita yang tidak sampai hati melihat keluarganya
terbaring berlama-lama di rumah sakit. Oleh karena itu, mereka memilih membawa pulang
pasien dengan harapan biarlah ia meninggal di tengah familinya.
E. ALASAN
DILAKUKAN EUTHANASIA
Euthanasia adalah
sebuah aksi pencabutan nyawa seseorang. Dilakukannya
aksi tersebut harus didukung dengan alasan yang kuat. Dari beberapa survey
negara dan penyaringan sumber, terdapat tiga
alasan utama mengapa euthanasia itu bisa dilakukan:
1.
Rasa Sakit yang Tidak Tertahankan
Mungkin
argumen terbesar dalam konflik euthanasia adalah jika si pasien
tersebut mengalami rasa sakit yang amat besar. Namun
pada zaman ini, penemuan semakin gencar untuk mengatasi rasa sakit tersebut,
yang secara langsung menyebabkan presentase terjadinya “assisted
suicide” berkurang.
Euthanasia memang
sekilas merupakan jawaban dari stress yang disebabkan oleh rasa sakit yang
semakin menjadi. Namun ada juga yang dinamakan “drugged state” atau
suatu saat dimana kita tak merasakan rasa sakit apapun karena pengaruh obat.
Oleh karena itu, kita dapat
menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada rasa sakit yang tidak terkendali, namun
beberapa pendapat menyatakan bahwa hal tersebut memang dapat
dilakukan dengan mengirim seseorang ke keadaan tanpa rasa sakit. Akan tetapi mereka tetap harus di-euthanasia-kan
karena cara tersebut tidak terpuji.
Hampir semua rasa sakit dapat dihilangkan. Namun adapun
yang sudah sebegitu parah bisa dikurang jika perawatan yang dibutuhkan tersedia
dengan baik. Tapi euthanasia bukanlah jawaban dari skandal tersebut. Solusi terbaik
untuk masalah ini adalah dengan meningkatkan mutu para profesional medis dan
dengan menginformasikan pada setiap pasien
yaitu apa saja hak-hak mereka sebagai seorang pasien.
Meskipun begitu, beberapa dokter tidak dibekali dengan“pain
management” atau cara medis menghilangkan rasa sakit, sehingga mereka
tidak tahu bagaimana harus bertindak apabila seorang pasien mengalami rasa
sakit yang luar biasa. Jika hal ini terjadi, hendaklah pasien tersebut mencari
dokter lain. Dengan catatan dokter tersebut haruslah
seseorang yang akan mengontrol rasa sakit itu bukan yang akan membunuh sang
pasien. Ada banyak spesialis yang sudah dibekali dengan keahlian tersebut yang
tidak hanya dapat mengontrol rasa sakit fisik seseorang, namun juga dapat
mengatasi depresi dan penderitaan mental yang biasanya mengiringi rasa sakit
luar biasa tersebut.
2.
Hak untuk Melakukan Bunuh Diri
Mungkin hal kedua bagi para pro-euthanasia adalah
jika kita mengangkat hal paling dasar dari semuanya, yaitu “hak”. Tapi
jika kita teliti lebih dalam, yang
kita bicarakan di sini bukanlah memberi hak untuk seseorang yang dibunuh,
tetapi memberikan hak pada orang yang melakukan pembunuhan tersebut. Dengan
kata lain, euthanasia bukanlah
hak seseorang untuk mati, tetapi hak untuk membunuh.
Euthanasia bukanlah
memberikan seseorang hak untuk mengakhiri hidupnya tapi sebaliknya. Hal ini adalah persoalan mengubah hukum agar dokter,
kerabat, atau orang lain dapat dengan sengaja mengakhiri hidup seseorang.
Manusia
memang punya hak untuk bunuh diri. Hal seperti itu tidak melanggar hukum. Bunuh
diri adalah suatu tragedi dan
aksi sendiri. Euthanasia bukanlah aksi pribadi, melainkan
membiarkan seseorang memfasilitasi kematian orang lain. Hal
ini dapat
mengarah ke suatu tindakan penyiksaan pada akhirnya.
3.
Haruskah Seseorang Dipaksa untuk Hidup?
Jawabannya
adalah tidak. Bahkan tidak ada hukum atau etika medis yang menyatakan bahwa
apapun akan dilakukan untuk mempertahankan pasien tetap hidup. Desakan melawan
permintaan pasien menunda kematian dengan
alasan hukum dan sebagainya juga bisa dinilai kejam dan tidak
berperikemanusiaan. Saat itulah perawatan
lebih lanjut menjadi tindakan yang tanpa rasa kasihan, tidak bijak, atau tidak
terdengar sebagai perilaku medis.
Hal
yang harus dilakukan adalah dengan menyediakan perawatan di rumah, bantuan
dukungan emosional dan spiritual bagi pasien dan membiarkan sang pasien merasa
nyaman dengan sisa waktunya.
F.
EUTHANASIA
MENURUT KUHP DAN KODE ETIK KEDOKTERAN
Prinsip umum
UU Hukum Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan masalah jiwa manusia adalah
memberikan perlindungan, sehingga hak untuk hidup secara wajar sebagaimana
harkat kemanusiaannya menjadi terjamin.
Di dalam
pasal 344 KUHP dinyatakan : “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan dengan
sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”.
Berdasarkan
pasal ini, dokter bisa dituntut oleh penegak hukum, apabila
ia melakukan euthanasia, walaupun atas permintaan pasien dan keluarga yang
bersangkutan karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum. Mungkin saja
dokter atau keluarga terlepas dari tuntutan pasal 344 ini, tetapi ia tidak bisa
melepaskan diri dari tuntutan pasal 388 yang berbunyi : “Barang siapa dengan
sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan
hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun”.
Dokter dapat
diberhentikan dari jabatannya, karena melanggar kode etik kedokteran. Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor : 434/Men.Kes/SK/X/1983 pasal 10 menyebutkan : “Setiap
dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya untuk melindungi ‘hidup’
makhluk insani”.
Menurut etik
kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan :
1.
Menggugurkan kandungan (abortus provocatus)
2.
Mengakhiri hidup seorang penderita, yang menurut ilmu dan
pengalaman tidak akan mungkin sembuh lagi.
Seorang
dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk
meringankan penderitaan dan memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak
untuk mengakhirinya.
G. EUTHANASIA DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM
1.
Kedudukan
jiwa dalam Islam
Islam
sangat menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Cukup
banyak ayat Al-Qur’an maupun hadits yang mengharuskan kita untuk menghormati
dan memelihara jiwa manusia (hifzh al
nafs). Meskipun jiwa merupakan hak asasi manusia, tetapi ia adalah anugerah
Allah SWT.
Di
antara firman-firman Allah SWT yang menyinggung soal jiwa atau “nafs” itu adalah :
a.
Menurut Surat Al-Hijr ayat 23 :
“Dan sesungguhnya benar-benar kami-lah yang menghidupkan dan mematikan,
dan kami (pulalah) yang mewarisi”.
b.
Menurut Surat Al-Najm ayat 44 :
“Dan bahwasanya
Dia-lah (Allah) yang mematikan dan menghidupkan”.
Tindakan
merusak maupun menghilangkan jiwa milik orang lain maupun jiwa milik sendiri
adalah perbuatan melawan hukum Allah. Begitu besarnya penghargaan Islam
terhadap jiwa, sehingga segala perbuatan yang merusak atau menghilangkan jiwa
manusia, diancam dengan hukuman yang setimpal (qishash atau diyat).
2. Euthanasia dalam hubungannya dengan jarimah mati
Yang menjadi unsur-unsur jarimah itu secara
umum adalah :
a.
“Nash” yang melarang perbuatan itu dan
memberikan ancaman hukuman
terhadapnya. Ini disebut sebagai
unsur formal (rukun syar’i).
b.
“Tindakan” yang membentuk suatu perbuatan
jarimah, baik perbuatan nyata
maupun sikap “tidak berbuat”. Unsur ini disebut unsur
material (rukun maddi).
c. “Pelaku”
yang mukallaf, yaitu orang yang dapat
dimintai pertanggung-jawaban
terhadap
jarimah yang dilakukannya. Ini disebut unsur moral (rukun abadi).
Dari segi nash Islam memang secara tegas melarang
pembunuhan. Aspek tindakan sebagai unsur kedua sudah jelas ada. Karena
biasanya upaya untuk mengurangi beban pasien dalam penderitaannya melalui
suntikan dengan bahan pelemah fungsi saraf dalam dosis tertentu (neurasthenia).
Terjadinya euthanasia aktif tidak terlepas dari
pertimbangan-pertimbangan berikut :
a.
Dari pihak pasien, yang meminta kepada
dokter karena merasa tidak tahan lagi menderita sakit karena penyakit yang
dideritanya terlalu gawat dan sudah lama. Pasien juga mempertimbangkan masalah
ekonomi. Atau pasien sudah tahu bahwa ajalnya sudah dekat, harapan untuk sembuh
terlalu jauh, maka supaya matinya tidak merasa sakit, dia meminta jalan yang
lebih “nyaman” yaitu melalui euthanasia.
b.
Dari pihak keluarga/wali, yang merasa
kasihan atas penderitaan pasien.
c.
“Kemungkinan lain” bisa terjadi, bahwa
pihak keluarga bekerjasama dengan dokter untuk mempercepat kematian pasien.
Masalahnya
adalah sejauh mana atau dalam hal apa saja nyawa seseorang bisa atau boleh
dihabisi. Untuk ini Allah telah menggariskannya melalui firman-Nya dalam surat
Al-Isra ayat 33 (juga Al-An’am : 151) :
“Dan jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan
suatu
(alasan) yang benar”.
Syeikh Ahmad Musthafa al-Maraghi menjelaskan bahwa
pembunuhan (mengakhiri hidup) seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh
salah satu dari 3 sebab yaitu :
a. Karena
pembunuhan oleh salah seseorang secara zalim.
b. Janda
secara nyata berbuat zina, yang diketahui oleh empat orang saksi.
c. Orang
yang keluar dari agama Islam, sebagai suatu sikap menentang jama’ah Islam.
Sakit
adalah satu bentuk uji kesabaran, sehingga tidaklah tepat kalau diselesaikan
dengan mengakhiri diri sendiri melalui euthanasia (aktif). Syeikh
Muhammad Yusuf al-Qardhawi mengatakan bahwa kehidupan manusia bukan menjadi hak
milik pribadi, sebab dia tidak dapat menciptakan dirinya (jiwanya). Oleh karena
itu, ia tidak boleh diabaikan apalagi
dilepaskan dari kehidupannya.
Islam
tidak membenarkan dalam situasi apapun untuk melepaskan nyawanya hanya karena ada
musibah. Seorang mukmin diciptakan untuk berjuang,
bukan untuk lari dari kenyataan. Dalam
hal ini Syeikh Mahmud Syaltut memberikan pembahasan yang ringkasnya bahwa para
ahli fiqh berbeda pendapat mengenai suatu kejahatan disuruh sendiri oleh si
korban atau oleh walinya.Bahwa perintah korban dapat menggugurkan qishash
terhadap pelaku.
3. Hukum Euthanasia dalam Islam
- Euthanasia Aktif
Syariat Islam jelas mengharamkan
euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori melakukan pembunuhan dengan
sengaja (al-qatl al-‘amâd). Walaupun
niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram walaupun atas
permintaan pasien sendiri atau keluarganya. Tindakan tersebut bisa dikategorikan tindakan
putus asa dan membunuh diri
sendiri yang diharamkan.
Dalil-dalil dalam masalah ini
sangatlah jelas yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan, baik pembunuhan
terhadap jiwa orang lain maupun diri sendiri, misalnya firman Allah Swt.:
[وَلاَ
تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَاللهُلاَّبالْحَقِّ]
“Janganlah kalian membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar”. (QS
al-An‘am [6]: 151).
[وَلاَ
تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا]
“Janganlah kalian membunuh diri kalian,
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian”. (QS an-Nisa' [4]: 29).
Karena itu, apapun alasannya
(termasuk faktor kasihan kepada penderita) tindakan euthanasia aktif tersebut jelas tidak dapat
diterima. Alasan ini
hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek
lain yang tidak diketahui dan terjangkau oleh manusia, yaitu pengampunan dosa.
Rasulullah SAW bersabda:
[مَا مِنْ مُصِيبَةٍ تُصِيبُ
الْمُسْلِمَ إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا]
“Tidaklah suatu musibah menimpa seseorang Muslim, kecuali Allah menghapuskan dengan musibah itu dosanya, hatta sekadar duri yang menusuknya”.(HR al-Bukhari dan Muslim).
“Tidaklah suatu musibah menimpa seseorang Muslim, kecuali Allah menghapuskan dengan musibah itu dosanya, hatta sekadar duri yang menusuknya”.(HR al-Bukhari dan Muslim).
b.
Euthanasia Pasif
Mengenai euthanasia pasif, sebenarnya faktanya
termasuk dalam kategori menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan
dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak
memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan
pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan
buatan dari tubuh pasien. Lalu, bagaimanakah hukumnya menurut syariat Islam?
Jawaban untuk pertanyaan tersebut bergantung pada
pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadâwi) itu sendiri : apakah berobat itu wajib, mandûb
(sunnah), mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut
jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya sunnah, tidak wajib. Namun,
sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah
dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah (Utomo,
2003: 180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998: 68) hukum
berobat adalah mandûb, tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadis, pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat,
sedangkan pada sisi lain ada qarînah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah
tuntutan yang tegas yang berimplikasi hukum wajib.
Di antara hadis-hadis tersebut adalah yang
dituturkan oleh Usama bin Syarik, bahwa beberapa orang Arab pernah bertanya,
“Ya Rasulullah, haruskah kami berobat?”
Rasulullah saw bersabda, “Benar wahai hamba-hamba Allah, berobatlah kalian, karena sesungguhnya
Allah tidak membuat suatu penyakit kecuali Dia membuat pula obatnya. (HR at-Tirmidzi).
Hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan
kita untuk berobat. Hanya saja, perintah (al-amr) tersebut tidak serta-merta
berkonotasi wajib. Ini sesuai dengan kaidah:
اَلأَصْلُ فِيْ اْلأَمْرِ لِلطَّلَبِ
“Perintah
itu pada asalnya sekadar menunjukkan adanya tuntutan”.(An-Nabhani,
1953).
Jadi, hadis riwayat Imam at-Tirmidzi di atas
hanya menuntut kita berobat. Dalam
hadis itu tidak ada satu indikasi pun yang membuktikan bahwa tuntutan tersebut
bersifat wajib. Qarînah yang ada dalam hadis-hadis lain juga menunjukkan bahwa
perintah di atas tidak wajib.
Di antaranya hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas
ra, bahwa seorang perempuan yang
berkulit hitam pernah datang kepada Nabi saw. Ia lalu berkata,
"Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap
auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!" Nabi
saw. Lalu berkata, "Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga.
Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu." Perempuan
itu berkata, "Baiklah aku akan bersabar." Lalu dia berkata lagi, "Sesungguhnya auratku
sering tersingkap [saat ayanku kambuh].Karena itu, berdoalah kepada Allah agar
auratku tidak tersingkap." Nabi saw, kemudian berdoa untuknya. (HR
Bukhari).
Hadis di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat.
Jika hadis ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan
berobat maka hadis terakhir ini menjadi indikasi (qarînah), bahwa perintah
berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum
berobat adalah sunnah (mandûb), bukan wajib (Zallum, 1998: 69), termasuk dalam
hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien.
Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah,
apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yang telah kritis keadaannya?
Abdul Qadim Zallum (1998: 69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si
pasien telah mati organ otaknya maka para dokter berhak menghentikan
pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab,
kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya
kehidupan bagi pasien. Penggunaan dan penghentiaan alat-alat bantu itu sendiri
termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, tidak wajib. Karena itu,
hukum euthanasia pasif—dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut
alat-alat bantu pada pasien (setelah matinya atau rusaknya organ otak)—hukumnya
boleh (jâ'iz) bagi dokter. Jadi, ketika dokter mencabut alat-alat tersebut dari
tubuh pasien, ia tidak dapat dikatakan melakukan pembunuhan terhadap pasien
(Zallum, 1998: 69; Zuhaili, 1996: 500; Utomo, 2003: 182).
Mempercepat
kematian tidak dibenarkan.Tugas dokter adalah menyembuhkan, bukan
membunuh.Kalau dokter tidak sanggup, kembalikan kepada keluarga.Sedangkan
terhadap euthanasia pasif, para ahli, baik dari kalangan kedokteran, ahli hukum
pidana, maupun para ulama sepakat membolehkan.
Kebolehan
euthanasia pasif itu didasarkan atas pertimbangan bahwa pasien sebenarnya
memang sudah tidak memiliki fungsi organ-organ yang memberi kepastian
hidup.Kalaupun ada harapan, umpamanya karena salah satu dari 3 organ utama yang
tidak berfungsi, yaitu jantung, paru-paru, korteks otak (otak besar, bukan
batang otak), maka berarti masih bisa dilakukan pengobatan bagi pasien yang
berada di RS yang lengkap peralatannya.Tetapi bila pasien berada di RS yang
sederhana, sehingga usaha untuk mengatasi kerusakan salah satu dari yang disebutkan
itu, atau biaya untuk meneruskan pengobatan ke RS yang lebih lengkap.Allah
tidak memberikan beban kewajiban yang manusia tidak sanggup memikulnya.Yang
penting disini tidak ada unsur kesengajaan untuk mempercepat kematian pasien.
Kalau
kerusakan terjadi pada batang otak, maka seluruh organ lainnya akan terhenti
pula fungsinya. Memang bisa terjadi, ketika batang otak telah rusak, tetapi
jantung masih berdenyut.Apalagi jika batang otak sudah mengalami
pembusukan.Maka dalam kondisi yang demikian, tindakan euthanasia pasif boleh
dilaksanakan, umpamanya dengan mencabut selang pernafasan, masker oksigen, pemacu
jantung, saluran infus dan sebagainya. Maksudnya hanya sebagai langkah
menyempurnakan kematian.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Membunuh bisa di
lakukan secara legal. Itulah euthanasia, pembunuhan
legal yang sampai sekarang masih menjadi pro dan kontra. Pembunuhan legal
inipun beragam jenisnya
Kematian merupakan topik yang sangat di takuti oleh
publik. Hal demikian tidak terjadi dalam dunia kedokteran atau kesehatan
modern, kematian tidaklah menjadi suatu peristiwa yang datang secara tiba-tiba.
Kematian dapat dilegalisir menjadi sesuatu yang dfinit dan dapat di pastikan
tanggal kejadiannya. Euthanasia memungkinkan hal tersebut.
Berdasarkan uraian terdahulu, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Yang berhak mengakhiri hidup seseorang hanyalah Allah
SWT. Oleh karena itu, orang yang mengakhiri hidupnya dengan cara dan alasan
yang bertentangan dengan ketentuan agama (tidak bilhaq), seperti euthanasia aktif, adalah perbuatan bunuh diri,
yang diharamkan dan diancam Allah dengan hukuman neraka selama-lamanya.
2.
Euthanasia aktif tetap dilarang, baik dilihat dari
segi kode etik kedokteran, Undang-Undang Hukum Pidana, lebih-lebih menurut
Islam yang menghukumnya dengan haram. Terhadap keluarga yang menyuruh, maupun
dokter yang melaksanakan, dipandang sebagai pelaku pembunuhan sengaja.
Sedangkan dokter yang melaksanakan euthanasia aktif atas permintaan pasien,
dipandang sebagai membantu terlaksananya bunuh diri.
3.
Euthanasia pasif diperbolehkan, yaitu sepanjang
kondisi organ utama pasien berupa batang otaknya sudah mengalami kerusakan
fatal. Sedangkan kerusakan organ jantung, paru-paru, dan korteks, dalam dunia
kedokteran sekarang masih bisa diatasi. Maka tindakan euthanasia terhadap
pasien dalam kondisi seperti ini sama dengan pembunuhan.
B.
SARAN
Untuk
menghadapi beberapa masalah yang berkaitan dengan adanya euthanasia ini, perlu
kiranya dikemukakan saran-saran berikut :
1.
Jika pertimbangan kemampuan untuk memperoleh layanan
medis yang lebih baik tidak memungkinkan lagi, baik karena biaya maupun karena
rumah sakit yang lebih lengkap terlalu jauh, maka dapat dilakukan dua cara :
a.
Menghentikan perawatan/pengobatan, artinya membawa
pasien pulang ke rumah.
b.
Membiarkan pasien dalam perawatan seadanya, tanpa ada
maksud melalaikannya, apalagi menghendaki kematiannya.
2.
Umat Islam diharapkan tetap berpegang teguh pada
kepercayaannya yang memandang segala musibah (termasuk menderita sakit) sebagai
ketentuan yang datang dari Allah.
3.
Para dokter diharapkan tetap berpegang pada kode etik
kedokteran dan sumpah jabatannya, sehingga tindakan yang mengarah kepada
percepatan proses kematian bisa dihindari.
DAFTAR PUSTAKA
Al-
Qur’an
Hadist
Kozier B., Erb G., Berman A., & Snyder S.J, (2004), Fundamentals of Nursing Concepts, Process and
Practice 7th Ed., New Jersey: Pearson Education Line
Taylor C., Lilies C., & Lemone P., (1997), Fundamentals of Nursing, Philadelphia : Lippincott
Taylor C., Lilies C., & Lemone P., (1997), Fundamentals of Nursing, Philadelphia : Lippincott
Van Hoeve, (1987), Eksiklopedia Indonesia, Vol 2, Topik
Euthanasia, Jakarta: Ikhtiar Baru, hal 978
Erwan T.,Cs., (1979), Himpunan Undang-undang dan
Peraturan-peraturan Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru,
hal 137
Keputusan Mentri Kesehatan RI nomor : 434/Men.Kes/SK/X/1983
Tentang, belakunya kode etik kedokteran indonesia bagi para dokter indonesia, 1988, Jakarta: yayasan penerbit Ikatan Dokter Indonesia, Hal 392