Sabtu, 14 Desember 2013

Euthanasia



EUTHANASIA
TUGAS KEPERWATAN PROFESIONAL
NAMA KELOMPOK  :
AYU ASTUTI
HERMAN SETIAWAN
FERDIAN S.
SUFI GAZELA A’I
TERESIA WIDIA A.
TRI NOVITA SARI
PUTRI ARIYANI
MUHAMMAD SAID


Sekolah tinggi ilmu kesehatan muhammadiyah samarinda

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
 Kasus Panca Satria Hasan Kusuma – Indonesia
Sebuah permohonan untuk melakukan euthanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Panca Satria Hasan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 3 bulan pasca operasi Caesar dan disamping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula. Permohonan untuk melakukan euthanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk euthanasia yang diluar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.

B.     TUJUAN
1.      Mencari Studi Kasus Tentang Euthanasia serta pembahasannya
2.      Euthanasia diperbolehkan atau tidak di Indonesia


BAB II
PEMBAHASAN


A.    PENGERTIAN EUTHANASIA
Euthanasia berasal dari kata Yunani eu yang berarti baik dan thanatos yang berarti mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal menjadi ringan atau mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiabnya.
Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa penderitaan” (mercy killing). Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap penderita penyakit yang secara medis sudah tidak mungkin lagi untuk bisa sembuh. Euthanasia bisa muncul dari keinginan pasien sendiri, permintaan dari keluarga dengan persetujuan pasien (bila pasien masih sadar), atau tanpa persetujuan pasien (bila pasien sudah tidak sadar).

B.     MACAM-MACAM EUTHANASIA
1.      Dilihat dari kondisi pasien, tindakan euthanasia dapat dikategorikan menjadi dua macam yaitu aktif dan pasif :
a.       Euthanasia Aktif adalah suatu tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan memberikan suntikan maupun melepaskan alat-alat pembantu medika, seperti : melepaskan saluran zat asam, melepas alat pemacu jantung dan lain-lain. Hal-hal yang termasuk tindakan mempercepat proses kematian disini adalah : jika kondisi pasien berdasarkan ukuran dan pengalaman medis masih menunjukkan adanya harapan hidup. Tanda-tanda kehidupan masih terdapat pada penderita ketika tindakan itu dilakukan.
b.      Euthanasia Pasif adalah suatu tindakan yang membiarkan pasien/penderita dalam keadaan tidak sadar (comma), karena berdasarkan pengamalan maupun ukuran medis sudah tidak ada harapan hidup, atau tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi padanya. Hal ini mungkin dikarenakan salah satu organ pentingnya telah rusak atau lemah, seperti : bocornya pembuluh darah yang menghubungkan ke otak (stroke) akibat tekanan darah terlalu tinggi, tidak berfungsinya jantung.
2.      Dilihat dari orang yang membuat keputusan, euthanasia dibagi menjadi:
a.       Voluntary euthanasia yaitu jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit
b.      Involuntary euthanasia yaitu jika yang membuat keputusan adalah orang lain, seperti pihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma medis.
3.      Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
a.       Euthanasia di luar kemauan pasien
Euthanasia tersebut adalah suatu tindakan euthanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
b.      Euthanasia secara tidak sukarela
Euthanasia semacam ini seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga. Hal ini terjadi apabila seseorang yang yang mengambil keputusan tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan, misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.
c.       Eutanasia secara sukarela.
Euthanasia ini dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial.
4.      Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, euthanasia dapat dibagi menjadi:
a.       Euthanasia agresif disebut juga euthanasia aktif adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Euthanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.
b.      Euthanasia non agresif, kadang juga disebut euhtanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sebagai euthanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan (www.scribd.com/doc/55407111/EUTANASIA)


C.    KRITERIA MATI
Apabila nadi tidak bergerak, maka jantung sudah tidak berfungsi karena jantung merupakan alat pemompa darah ke seluruh tubuh. Jantung digerakkan oleh pusat saraf penggerak yang terletak pada bagian batang otak kepala. Apabila terjadi perdarahan pada batang otak, maka denyut jantung terganggu. Tetapi perdarahan pada otak yang bersangkutan tidak mati, kata Prof. Dr. Mahar Mardjono (eks Rektor UI). Jadi, kalau hanya terjadi perdarahan pada otak, penderita tidak mati. Jika batang otak betul-betul mati, maka harapan hidup seseorang telah terputus.
Menurut Dr. Yusuf Misbach (ahli saraf) terdapat 2 macam kematian otak yaitu kematian korteks otak yang merupakan pusat kegiatan intelektual dan kematian batang otak. Kerusakan batang otak lebih fatal karena terdapat pusat saraf penggerak motor semua saraf tubuh. Menurut Dr. Kartono Muhammad (wakil ketua Ikatan Dokter Indonesia) mengatakan seseorang mati bila batang otak menggerakkan jantung dan paru-paru tidak berfungsi lagi.
Para fuqaha menurut Dr. Peunoh Daly menentukan ukuran hidup matinya seseorang dengan empat fenomena yaitu :
-    Adanya gerak/nafas, gerakan sedikit/banyak.
-    Adanya suara maupun bunyi yang terdapat pada mulut, jeritan tangis, dan rasa haus.
-    Mempunyai kemampuan berfikir terutama bagi orang dewasa.
-    Mempunyai kemampuan merasakan lewat panca indra dan hati.
Kriteria yang dikemukakan fuqaha berupa kriteria pertama dan kedua masih belum menjamin, karena terkadang manusia tidak bernafas dan tidak bersuara pada saat comma. Sedangkan kriteria ketiga yaitu kemampuan berfikir, hanya salah satu vitalitas otak, kerusakan organ tidak fatal masih bisa dioperasi. Kriteria keempat, sulit dideteksi dengan menggunakan alat canggih. Keempat kriteria tersebut dapat diterapkan di tempat yang tidak terdapat alat ukur seperti disebutkan Prof. Mahar.


D.    FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB EUTHANASIA
1.      Faktor kemanusiaan
Faktor ini dilakukan oleh seorang dokter baik atas permintaan pasien atau keluarganya atau kehendak dokter itu sendiri. Hal ini dilakukan oleh seorang dokter karena merasa kasihan terhadap penderitaan pasiennya yang berkepanjangan, yang secara medis sulit untuk disembuhkan. Dengan demikian seorang dokter mengabulkan permintaan pasiennya.

2.      Faktor Ekonomi
Faktor yang kedua ini diakui oleh wakil ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dr.Kartono Muhammad bahwa mengenai Euthanasia pasif banyak dilakukan atas permintaan keluarga penderita yang tidak sampai hati melihat keluarganya terbaring berlama-lama di rumah sakit. Oleh karena itu, mereka memilih membawa pulang pasien dengan harapan biarlah ia meninggal di tengah familinya.


E.     ALASAN DILAKUKAN EUTHANASIA
Euthanasia adalah sebuah aksi pencabutan nyawa seseorang. Dilakukannya aksi tersebut harus didukung dengan alasan yang kuat. Dari beberapa survey negara dan penyaringan sumber, terdapat tiga alasan utama mengapa euthanasia itu bisa dilakukan:
1.      Rasa Sakit yang Tidak Tertahankan
Mungkin argumen terbesar dalam konflik euthanasia adalah jika si pasien tersebut mengalami rasa sakit yang amat besar. Namun pada zaman ini, penemuan semakin gencar untuk mengatasi rasa sakit tersebut, yang secara langsung menyebabkan presentase terjadinya “assisted suicide” berkurang.
Euthanasia memang sekilas merupakan jawaban dari stress yang disebabkan oleh rasa sakit yang semakin menjadi. Namun ada juga yang dinamakan “drugged state” atau suatu saat dimana kita tak merasakan rasa sakit apapun karena pengaruh obat.
Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada rasa sakit yang tidak terkendali, namun beberapa pendapat menyatakan bahwa hal tersebut memang dapat dilakukan dengan mengirim seseorang ke keadaan tanpa rasa sakit. Akan tetapi mereka tetap harus di-euthanasia-kan karena cara tersebut tidak terpuji.
Hampir semua rasa sakit dapat dihilangkan. Namun adapun yang sudah sebegitu parah bisa dikurang jika perawatan yang dibutuhkan tersedia dengan baik. Tapi euthanasia bukanlah jawaban dari skandal tersebut. Solusi terbaik untuk masalah ini adalah dengan meningkatkan mutu para profesional medis dan dengan menginformasikan pada setiap pasien yaitu apa saja hak-hak mereka sebagai seorang pasien.
Meskipun begitu, beberapa dokter tidak dibekali dengan“pain management” atau cara medis menghilangkan rasa sakit, sehingga mereka tidak tahu bagaimana harus bertindak apabila seorang pasien mengalami rasa sakit yang luar biasa. Jika hal ini terjadi, hendaklah pasien tersebut mencari dokter lain. Dengan catatan dokter tersebut haruslah seseorang yang akan mengontrol rasa sakit itu bukan yang akan membunuh sang pasien. Ada banyak spesialis yang sudah dibekali dengan keahlian tersebut yang tidak hanya dapat mengontrol rasa sakit fisik seseorang, namun juga dapat mengatasi depresi dan penderitaan mental yang biasanya mengiringi rasa sakit luar biasa tersebut.
2.      Hak untuk Melakukan Bunuh Diri
Mungkin hal kedua bagi para pro-euthanasia adalah jika kita mengangkat hal paling dasar dari semuanya, yaitu “hak”. Tapi jika kita teliti lebih dalam, yang kita bicarakan di sini bukanlah memberi hak untuk seseorang yang dibunuh, tetapi memberikan hak pada orang yang melakukan pembunuhan tersebut. Dengan kata lain, euthanasia bukanlah hak seseorang untuk mati, tetapi hak untuk membunuh.
Euthanasia bukanlah memberikan seseorang hak untuk mengakhiri hidupnya tapi sebaliknya. Hal ini adalah persoalan mengubah hukum agar dokter, kerabat, atau orang lain dapat dengan sengaja mengakhiri hidup seseorang.
Manusia memang punya hak untuk bunuh diri. Hal seperti itu tidak melanggar hukum. Bunuh diri adalah suatu tragedi dan aksi sendiri. Euthanasia bukanlah aksi pribadi, melainkan membiarkan seseorang memfasilitasi kematian orang lain. Hal ini dapat mengarah ke suatu tindakan penyiksaan pada akhirnya.
3.      Haruskah Seseorang Dipaksa untuk Hidup?
Jawabannya adalah tidak. Bahkan tidak ada hukum atau etika medis yang menyatakan bahwa apapun akan dilakukan untuk mempertahankan pasien tetap hidup. Desakan melawan permintaan pasien menunda kematian dengan alasan hukum dan sebagainya juga bisa dinilai kejam dan tidak berperikemanusiaan. Saat itulah perawatan lebih lanjut menjadi tindakan yang tanpa rasa kasihan, tidak bijak, atau tidak terdengar sebagai perilaku medis.
Hal yang harus dilakukan adalah dengan menyediakan perawatan di rumah, bantuan dukungan emosional dan spiritual bagi pasien dan membiarkan sang pasien merasa nyaman dengan sisa waktunya.

F.        EUTHANASIA MENURUT KUHP DAN KODE ETIK KEDOKTERAN
Prinsip umum UU Hukum Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan masalah jiwa manusia adalah memberikan perlindungan, sehingga hak untuk hidup secara wajar sebagaimana harkat kemanusiaannya menjadi terjamin.
Di dalam pasal 344 KUHP dinyatakan : “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”.
Berdasarkan pasal ini, dokter bisa dituntut oleh penegak hukum, apabila ia melakukan euthanasia, walaupun atas permintaan pasien dan keluarga yang bersangkutan karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum. Mungkin saja dokter atau keluarga terlepas dari tuntutan pasal 344 ini, tetapi ia tidak bisa melepaskan diri dari tuntutan pasal 388 yang berbunyi : “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun”.
Dokter dapat diberhentikan dari jabatannya, karena melanggar kode etik kedokteran. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 434/Men.Kes/SK/X/1983 pasal 10 menyebutkan : “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya untuk melindungi ‘hidup’ makhluk insani”.
Menurut etik kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan :
1.      Menggugurkan kandungan (abortus provocatus)
2.      Mengakhiri hidup seorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak akan mungkin sembuh lagi.
Seorang dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk mengakhirinya.

G.  EUTHANASIA DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM
1.      Kedudukan jiwa dalam Islam
Islam sangat menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Cukup banyak ayat Al-Qur’an maupun hadits yang mengharuskan kita untuk menghormati dan memelihara jiwa manusia (hifzh al nafs). Meskipun jiwa merupakan hak asasi manusia, tetapi ia adalah anugerah Allah SWT.
Di antara firman-firman Allah SWT yang menyinggung soal jiwa atau “nafs” itu adalah :
a.                   Menurut Surat Al-Hijr ayat 23 :
“Dan sesungguhnya benar-benar kami-lah yang menghidupkan dan mematikan, dan kami (pulalah) yang mewarisi”.
b.                  Menurut Surat Al-Najm ayat 44 :
“Dan bahwasanya Dia-lah (Allah) yang mematikan dan menghidupkan”.
Tindakan merusak maupun menghilangkan jiwa milik orang lain maupun jiwa milik sendiri adalah perbuatan melawan hukum Allah. Begitu besarnya penghargaan Islam terhadap jiwa, sehingga segala perbuatan yang merusak atau menghilangkan jiwa manusia, diancam dengan hukuman yang setimpal (qishash atau diyat).

2.      Euthanasia dalam hubungannya dengan jarimah mati
Yang menjadi unsur-unsur jarimah itu secara umum adalah :
a.        Nash” yang melarang perbuatan itu dan memberikan ancaman hukuman
           terhadapnya. Ini disebut sebagai unsur formal (rukun syar’i).
b.      “Tindakan” yang membentuk suatu perbuatan jarimah, baik perbuatan nyata
maupun sikap “tidak berbuat”. Unsur ini disebut unsur material (rukun maddi).
c.       “Pelaku” yang mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggung-jawaban
terhadap jarimah yang dilakukannya. Ini disebut unsur moral (rukun abadi).

Dari segi nash Islam memang secara tegas melarang pembunuhan. Aspek tindakan sebagai unsur kedua sudah jelas ada. Karena biasanya upaya untuk mengurangi beban pasien dalam penderitaannya melalui suntikan dengan bahan pelemah fungsi saraf dalam dosis tertentu (neurasthenia).
Terjadinya euthanasia aktif tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan berikut :
a.       Dari pihak pasien, yang meminta kepada dokter karena merasa tidak tahan lagi menderita sakit karena penyakit yang dideritanya terlalu gawat dan sudah lama. Pasien juga mempertimbangkan masalah ekonomi. Atau pasien sudah tahu bahwa ajalnya sudah dekat, harapan untuk sembuh terlalu jauh, maka supaya matinya tidak merasa sakit, dia meminta jalan yang lebih “nyaman” yaitu melalui euthanasia.
b.      Dari pihak keluarga/wali, yang merasa kasihan atas penderitaan pasien.
c.       “Kemungkinan lain” bisa terjadi, bahwa pihak keluarga bekerjasama dengan dokter untuk mempercepat kematian pasien.
Masalahnya adalah sejauh mana atau dalam hal apa saja nyawa seseorang bisa atau boleh dihabisi. Untuk ini Allah telah menggariskannya melalui firman-Nya dalam surat Al-Isra ayat 33 (juga Al-An’am : 151) :
“Dan jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan suatu
 (alasan) yang benar”.
Syeikh Ahmad Musthafa al-Maraghi menjelaskan bahwa pembunuhan (mengakhiri hidup) seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu dari 3 sebab yaitu :
a.  Karena pembunuhan oleh salah seseorang secara zalim.
b.  Janda secara nyata berbuat zina, yang diketahui oleh empat orang saksi.
c.  Orang yang keluar dari agama Islam, sebagai suatu sikap menentang jama’ah Islam.
Sakit adalah satu bentuk uji kesabaran, sehingga tidaklah tepat kalau diselesaikan dengan mengakhiri diri sendiri melalui euthanasia (aktif). Syeikh Muhammad Yusuf al-Qardhawi mengatakan bahwa kehidupan manusia bukan menjadi hak milik pribadi, sebab dia tidak dapat menciptakan dirinya (jiwanya). Oleh karena itu, ia tidak boleh diabaikan apalagi dilepaskan dari kehidupannya.
Islam tidak membenarkan dalam situasi apapun untuk melepaskan nyawanya hanya karena ada musibah. Seorang mukmin diciptakan untuk berjuang, bukan untuk lari dari kenyataan. Dalam hal ini Syeikh Mahmud Syaltut memberikan pembahasan yang ringkasnya bahwa para ahli fiqh berbeda pendapat mengenai suatu kejahatan disuruh sendiri oleh si korban atau oleh walinya.Bahwa perintah korban dapat menggugurkan qishash terhadap pelaku.

3.      Hukum Euthanasia dalam Islam
  1. Euthanasia Aktif
Syariat Islam jelas mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori melakukan pembunuhan dengan sengaja (al-qatl al-‘amâd). Walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya. Tindakan tersebut bisa dikategorikan tindakan putus asa dan membunuh diri sendiri yang diharamkan.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan, baik pembunuhan terhadap jiwa orang lain maupun diri sendiri, misalnya firman Allah Swt.:
                     [وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَاللهُلاَّبالْحَقِّ]
Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS al-An‘am [6]: 151).
                      [وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا]
Janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian. (QS an-Nisa' [4]: 29).
Karena itu, apapun alasannya (termasuk faktor kasihan kepada penderita) tindakan euthanasia aktif tersebut jelas tidak dapat diterima. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lain yang tidak diketahui dan terjangkau oleh manusia, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW  bersabda:
[مَا مِنْ مُصِيبَةٍ تُصِيبُ الْمُسْلِمَ إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا]
“Tidaklah suatu musibah menimpa seseorang Muslim, kecuali Allah menghapuskan dengan musibah itu dosanya, hatta sekadar duri yang menusuknya”.(HR al-Bukhari dan Muslim).
b.      Euthanasia Pasif
Mengenai euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam kategori menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Lalu, bagaimanakah hukumnya menurut syariat Islam?
Jawaban untuk pertanyaan tersebut bergantung pada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadâwi) itu sendiri : apakah berobat itu wajib, mandûb (sunnah), mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya sunnah, tidak wajib. Namun, sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003: 180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998: 68) hukum berobat adalah mandûb, tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadis, pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan pada sisi lain ada qarînah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas yang berimplikasi hukum wajib.
Di antara hadis-hadis tersebut adalah yang dituturkan oleh Usama bin Syarik, bahwa beberapa orang Arab pernah bertanya, “Ya Rasulullah, haruskah kami berobat?”
Rasulullah saw bersabda, “Benar wahai hamba-hamba Allah, berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah tidak membuat suatu penyakit kecuali Dia membuat pula obatnya. (HR at-Tirmidzi).
Hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kita untuk berobat. Hanya saja, perintah (al-amr) tersebut tidak serta-merta berkonotasi wajib. Ini sesuai dengan kaidah:
اَلأَصْلُ فِيْ اْلأَمْرِ لِلطَّلَبِ
“Perintah itu pada asalnya sekadar menunjukkan adanya tuntutan”.(An-Nabhani, 1953).
Jadi, hadis riwayat Imam at-Tirmidzi di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadis itu tidak ada satu indikasi pun yang membuktikan bahwa tuntutan tersebut bersifat wajib. Qarînah yang ada dalam hadis-hadis lain juga menunjukkan bahwa perintah di atas tidak wajib.
Di antaranya hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra, bahwa seorang perempuan yang berkulit hitam pernah datang kepada Nabi saw. Ia lalu berkata, "Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!" Nabi saw. Lalu berkata, "Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu." Perempuan itu berkata, "Baiklah aku akan bersabar." Lalu dia berkata lagi, "Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh].Karena itu, berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap." Nabi saw, kemudian berdoa untuknya. (HR Bukhari).
Hadis di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadis ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat maka hadis terakhir ini menjadi indikasi (qarînah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandûb), bukan wajib (Zallum, 1998: 69), termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien.
Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yang telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum (1998: 69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab, kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Penggunaan dan penghentiaan alat-alat bantu itu sendiri termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, tidak wajib. Karena itu, hukum euthanasia pasif—dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien (setelah matinya atau rusaknya organ otak)—hukumnya boleh (jâ'iz) bagi dokter. Jadi, ketika dokter mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, ia tidak dapat dikatakan melakukan pembunuhan terhadap pasien (Zallum, 1998: 69; Zuhaili, 1996: 500; Utomo, 2003: 182).
Mempercepat kematian tidak dibenarkan.Tugas dokter adalah menyembuhkan, bukan membunuh.Kalau dokter tidak sanggup, kembalikan kepada keluarga.Sedangkan terhadap euthanasia pasif, para ahli, baik dari kalangan kedokteran, ahli hukum pidana, maupun para ulama sepakat membolehkan.
Kebolehan euthanasia pasif itu didasarkan atas pertimbangan bahwa pasien sebenarnya memang sudah tidak memiliki fungsi organ-organ yang memberi kepastian hidup.Kalaupun ada harapan, umpamanya karena salah satu dari 3 organ utama yang tidak berfungsi, yaitu jantung, paru-paru, korteks otak (otak besar, bukan batang otak), maka berarti masih bisa dilakukan pengobatan bagi pasien yang berada di RS yang lengkap peralatannya.Tetapi bila pasien berada di RS yang sederhana, sehingga usaha untuk mengatasi kerusakan salah satu dari yang disebutkan itu, atau biaya untuk meneruskan pengobatan ke RS yang lebih lengkap.Allah tidak memberikan beban kewajiban yang manusia tidak sanggup memikulnya.Yang penting disini tidak ada unsur kesengajaan untuk mempercepat kematian pasien.
Kalau kerusakan terjadi pada batang otak, maka seluruh organ lainnya akan terhenti pula fungsinya. Memang bisa terjadi, ketika batang otak telah rusak, tetapi jantung masih berdenyut.Apalagi jika batang otak sudah mengalami pembusukan.Maka dalam kondisi yang demikian, tindakan euthanasia pasif boleh dilaksanakan, umpamanya dengan mencabut selang pernafasan, masker oksigen, pemacu jantung, saluran infus dan sebagainya. Maksudnya hanya sebagai langkah menyempurnakan kematian.


BAB III
PENUTUP

A.          KESIMPULAN
Membunuh  bisa di lakukan secara legal. Itulah euthanasia, pembunuhan legal yang sampai sekarang masih menjadi pro dan kontra. Pembunuhan legal inipun  beragam jenisnya
Kematian merupakan topik yang sangat di takuti oleh publik. Hal demikian tidak terjadi dalam dunia kedokteran atau kesehatan modern, kematian tidaklah menjadi suatu peristiwa yang datang secara tiba-tiba. Kematian dapat dilegalisir menjadi sesuatu yang dfinit dan dapat di pastikan tanggal kejadiannya. Euthanasia memungkinkan hal tersebut.
Berdasarkan uraian terdahulu, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Yang berhak mengakhiri hidup seseorang hanyalah Allah SWT. Oleh karena itu, orang yang mengakhiri hidupnya dengan cara dan alasan yang bertentangan dengan ketentuan agama (tidak bilhaq), seperti euthanasia aktif, adalah perbuatan bunuh diri, yang diharamkan dan diancam Allah dengan hukuman neraka selama-lamanya.
2.      Euthanasia aktif tetap dilarang, baik dilihat dari segi kode etik kedokteran, Undang-Undang Hukum Pidana, lebih-lebih menurut Islam yang menghukumnya dengan haram. Terhadap keluarga yang menyuruh, maupun dokter yang melaksanakan, dipandang sebagai pelaku pembunuhan sengaja. Sedangkan dokter yang melaksanakan euthanasia aktif atas permintaan pasien, dipandang sebagai membantu terlaksananya bunuh diri.
3.      Euthanasia pasif diperbolehkan, yaitu sepanjang kondisi organ utama pasien berupa batang otaknya sudah mengalami kerusakan fatal. Sedangkan kerusakan organ jantung, paru-paru, dan korteks, dalam dunia kedokteran sekarang masih bisa diatasi. Maka tindakan euthanasia terhadap pasien dalam kondisi seperti ini sama dengan pembunuhan.


B.           SARAN
Untuk menghadapi beberapa masalah yang berkaitan dengan adanya euthanasia ini, perlu kiranya dikemukakan saran-saran berikut :
1.      Jika pertimbangan kemampuan untuk memperoleh layanan medis yang lebih baik tidak memungkinkan lagi, baik karena biaya maupun karena rumah sakit yang lebih lengkap terlalu jauh, maka dapat dilakukan dua cara :
a.       Menghentikan perawatan/pengobatan, artinya membawa pasien pulang ke rumah.
b.      Membiarkan pasien dalam perawatan seadanya, tanpa ada maksud melalaikannya, apalagi menghendaki kematiannya.
2.      Umat Islam diharapkan tetap berpegang teguh pada kepercayaannya yang memandang segala musibah (termasuk menderita sakit) sebagai ketentuan yang datang dari Allah.
3.      Para dokter diharapkan tetap berpegang pada kode etik kedokteran dan sumpah jabatannya, sehingga tindakan yang mengarah kepada percepatan proses kematian bisa dihindari.



DAFTAR PUSTAKA

Al- Qur’an
Hadist
Kozier B., Erb G., Berman A., & Snyder S.J, (2004), Fundamentals of Nursing Concepts, Process and Practice 7th Ed., New Jersey: Pearson Education Line
Taylor C., Lilies C., & Lemone P., (1997), Fundamentals of Nursing, Philadelphia : Lippincott
Van Hoeve, (1987), Eksiklopedia Indonesia, Vol 2, Topik Euthanasia, Jakarta: Ikhtiar Baru, hal 978
Erwan T.,Cs., (1979), Himpunan Undang-undang dan Peraturan-peraturan Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, hal 137
Keputusan Mentri Kesehatan RI nomor : 434/Men.Kes/SK/X/1983 Tentang, belakunya kode etik kedokteran indonesia bagi para dokter indonesia, 1988, Jakarta: yayasan penerbit Ikatan Dokter Indonesia, Hal 392